banner 728x250

Jejak Sang Dermawan yang Selalu Dikenang, Selamatkan Negara dari Keterpurukan

Alm.DR (HC).H. Murad Husain

Laporan : Nasri Sei/Banggaipost

BANGGAIPOST.COM, Luwuk- DR (HC).H. Murad Husain menghembuskan napas terakhir tepatnya di Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke-76, Selasa (17/8/2021).

Tiga tahun sudah kepergian sang dermawan menghadap Ilahi. Namun, karya kemanusiaan almarhum sebagai bapak pembangunan hingga saat ini tetap dikenang oleh masyarakat luas.

Sebagai pengusaha nasional, ia pernah berkontribusi menyelamatkan negara dari keterpurukan ekonomi di tahun 1998.

Bahkan, nama besar Murad Husain diabadikan dalam sebuah buku yang ditulis wartawan senior, Ishak Rafick. Pengantar, Rizal Ramli, 2007, cetakan 1:Januari 1998.

Buku tersebut berjudul, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia, Sebuah Investigasi 1997-2008, dan jalan baru membangun Indonesia, halaman 63-65.

Berikut kutipan Ceritanya:

Saat krisis moneter terjadi, usaha dari bawah untuk membantu Pemerintah mengatasi terpuruknya nilai Rupiah pada tahun 1998 datang dari sejumlah kalangan.

Lebih dari 200 kyai dari berbagai pesantren datang untuk menyumbangkan anting-anting, kalung dan gelang milik anak dan istri mereka buat meringankan beban Pemerintah pada masa krisis.

Tak ada pemandangan lebih mengharukan dari pada malam itu. Orang-orang kecil dari tempat-tempat yang jauh, sebagian Cuma bersarung dan baju koko sederhana, menyerahkan sebundal besar perhiasan emas.

Perhiasan seberat 1,9 kg itu diserahkan langsung kepada presiden. Zainuddin MZ sendiri, kyai sejuta ummat yang memimpin perhelatan itu, menyumbangkan 1 Ons emas miliknya kepada pemerintah.

Bantuan itu memang tak menyelesaikan masalah. Nilai Rupiah tetap terpuruk terhadap Valas, terutama U$$. Maklum, lebih separuh utang luar negeri Indonesia, termasuk utang swasta, diberikan dan mesti dikembalikan dalam mata uang paman sam itu.

Tak banyak orang menyadari bahwa krisis ini bisa berkembang ke sesuatu yang tak bisa diduga termasuk kyai dan orang-orang dekat istana.

Disisi lain, berpihak pada pandangan bahwa rakyat banyak masih mempercayai sang presiden, Siti Hardiyanti Rukmana alias mbak tutut menggelar Gerakan Cinta Rupiah (Getar), 10 Januari 1998.

Putri sulung Soeharto dan salah satu bintang kemenangan Golkar pada Pemilu 1997 itu, memboyong anggota DPR/MPR dari Fraksi Karya kedalam gerbong Getar.

Tutut sendiri sebagai pencetus merupiah kan US$ 50 ribu guna memperkuat otot rupiah. Uang segitu tentu tak bisa dianggap besar, bila diingat kapasitas tutut sebagai pengusaha besar dengan puluhan anak perusahaan yang menggurita kemana-mana.

Pada saat yang sama anggota Fraksi karya yang dibawahnya hanya merupiahkan antara US$ 1000-5 ribu. Alhasil US$ yang bisa dirupiahkan hari itu Cuma US$ 650 ribu dengan kursRp. 6.450/US$.

Namun Getar tidak berhenti sampai disitu. Dia terus menjalar sampai ke menteri-menteri, para pengusaha, Pegawai Garuda, Dephub, para Gubernur, aparat Pemda, rakyat biasa yang banyak duit, dan tentu para pengusaha besar.

Cuma karena U$$ yang mengalir untuk dirupiahkan jumlahnya tak cukup signifikan, maka hasilnya juga tak optimal untuk mendongkrat nilai Rupiah.

Pengusaha dari udik H. Murad Husain tercatat pada posisi teratas dalam merupiahkan U$$ miliknya. Pengusaha asal Luwuk-Sulawesi Tengah itu pertengahan Januari 1998 telah merupiahkan U$$ 3 juta di Bank Dagang Negara (BDN) Cabang Luwuk.

Bandingkan dengan Eka Tjipta Widjaja, konglomerat kelompok Sinar Mas yang sebagian besar penghasilannya dalam U$$, Cuma merupiahkan U$$ 1 Juta. Tommy Winata baru U$$ 500 ribu, Sukamdani S.Gitosardjono U$$ 50.100, Burhan Uray dari Group Djajanti U$$ 50 Ribu. CEO kenamaan dari astra Teddy P. Rahmat hanya menukarkan U$$ 10 Ribu, satu level dengan bos McDonald Bambang N. Rahmadi.

Jumlah yang dirupiahkan TP Rahmat dan Bambang N. Rahmadi, yang terkenal kaya raya itu, sama dengan sumbangan Cuma-Cuma H. Murad Husain. Ya, pengusaha udik itu, pada 21 Januari 1998 tercatat tidak hanya telah merupiahkan U$$ 3 Juta miliknya, tapi juga telah menyumbangkan U$$ 10 ribu kepada negara.

Dalam bincang-bincang dengan penulis waktu itu dia menyebut alasannya menyumbang sederhana saja: dia merasa malu melihat para kyai, yang bukan pengusaha, masih mau menyumbangkan emas-emasnnya buat negara.

“ Mereka itu bukan pengusaha, bukan pedagang. Mereka datang dari pondok-pondok pesantren yang jauh. Bila mereka bisa menyumbang, masa kita pengusaha tidak?” Jawab Murad sungguh-sungguh ketika ditanyakan alasan menyumbangkan dolarnya.

“Saya merasa diuntungkan oleh negara, karena telah memberi peluang bisnis kepada saya. Sekarang negara memerlukan bantuan, ya kita harus berikan,”sambung pengusaha yang bergerak dibidang perkayuan, kehutanan, perkebunan dan pertanian itu.

Aksi spontan para Ulama memang menimbulkan keharuan. Dia kembali menghidupkan kenangan akan sumbangan orang-orang Aceh kepada Republik di awal-awal kemerdekaan untuk membeli pesawat terbang, alat yang mesti dipunyai oleh setiap negara merdeka.

Tak heran bila banyak kalangan mencibir setiap aksi pemerintah yang ingin mengajarkan nasionalisme dan kebangsaan kepada para santri. Sebab orang-orang pondok pesantren ini lebih memiliki rasa kebangsaan yang tulus dan siap berkorban apa saja guna membela negaranya.

Mereka ini Cuma punya tanah air satu, Indonesia. Dalam senang dan dalam duka mereka akan tetap di Indonensia.
Toh meski memuji ketulusan para kyai dan santri dalam menolong tanah airnya, banyak kalangan menilai orang-orang pesantren itu terlalu naif.

Sebagian lagi menganggapnya mencari muka, dan sebagian lain mencibir aksi itu sebagai pekerjaan sia-sia, ibarat menyangga beringin yang hampir roboh dengan seutas benang.

Terlepas dari pro-kontra yang mengiringi aksi para ulama itu, pengusaha udik semacam H. Murad Husain, Dirut PT. Kurnia Luwuk Sejati yang tak sempat mengenyam pendidikan tinggi, sudah digetarkannya. Namun Getar, gerakan yang dipimpin mba Tutut setelah aksi spontan para ulama pesantren, justru dinilai para pengamat sebagai gerakan setengah hati.

Sebab yang dirupiahkan dinilai terlalu sedikit dibanding kemampuan mereka. “Bagi saya sebagai gerakan moral Getar cukup baik, tetapi dia tetap tidak akan mampu mendongkrak nilai rupiah. Sebab perburuan dolar masih tetap berlangsung dengan intensitas yang terus meningkat,”ujar Rizal Ramli mengomentari aksi itu.

Rizal tidak sendirian, Tonny A.Prasentiantono, staf pengajar Fak. Ekonomi UGM, punya pendapat senada. Baginya hasil gerakan ini masih belum signifikan. “Kalau seorang menteri menukarkan U$$ 1.000, berapa yang harus ditukarkan rakyatnya? Ujarnya retoris.

Menurut Tony gerakan ini baru efektif jika dolar yang dirupiahkan jumlahnya besar.” Masa Cuma segitu sih yang mereka punya?” tanya beberapa kalangan sinis.

Sebagian lagi malah mempertanyakan mengapa baru sekarang dirupiahkan. Mengapa tidak dari dulu-dulu sebelum harga dolar sampai diatas Rp.6 ribu/U$$?” Oh tidak, Waktu kursnya masih Rp.4000/U$$ saya sudah tukarkan 1 Juta dolar di BDN Luwuk. Saya kan nasabahnya,” bantah Murad Husain cepat ketika ditanyakan masalah itu.

Aksi tulus sang dermawan asal Kabupaten Banggai ini patut diakui, dan selalu dikenang, telah memberikan kontribusi kepada negara untuk bangkit dari keterpurukan. (*)