Opini  

Sulianti Murad; Cinta Tak Bersyarat untuk Banggai

Oleh: Parlin Yusuf

Di tengah arus politik elektoral yang seringkali transaksional dan penuh kepentingan, hadirnya tokoh seperti Hj. Sulianti Murad, SH., MM., adalah sebuah oase. Meskipun tidak terpilih dalam Pilkada Banggai 2025 silam, ia tetap konsisten membantu masyarakat dengan cara-cara nyata dan konkret — seperti yang baru-baru ini terjadi di Desa Tombiobong, Kecamatan Batui Selatan.

Sulianti turun langsung ke lokasi sungai yang kerap meluap dan menyebabkan banjir, membuat anak-anak tak bisa bersekolah. Bersama tokoh setempat yang dikenal sebagai “Om Pesawat”, ia tidak sekadar datang meninjau. Ia juga menurunkan alat berat milik PT. KLS untuk mempercepat proses normalisasi sungai. Tanpa jabatan, tanpa kekuasaan, tapi tetap hadir.

Fenomena ini bisa dibaca melalui lensa politik etis — sebuah pemikiran yang menempatkan pengabdian kepada rakyat sebagai tanggung jawab moral, bukan hanya strategi elektoral. Dalam teori civic virtue atau kebajikan warga negara, sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles dan dikembangkan dalam tradisi republikanisme modern, seorang pemimpin yang baik adalah mereka yang memandang kekuasaan bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai alat untuk melayani kepentingan publik. Ketika kekuasaan itu sudah tidak lagi digenggam, kebajikan sejati seorang pemimpin diuji — apakah ia tetap peduli, atau pergi.

Sulianti Murad memilih tetap peduli. Ia menunjukkan bahwa cinta kepada daerah tidak bersyarat. Tidak tergantung pada jabatan. Tidak menunggu panggung politik. Ia hadir bukan karena harus, tapi karena ingin. Karena nuraninya terpanggil.

Langkahnya ini juga menantang asumsi umum dalam teori perilaku politik, bahwa aktor politik umumnya termotivasi oleh self-interest (kepentingan diri). Dalam konteks ini, Sulianti Murad justru merepresentasikan alternatif: politik yang digerakkan oleh public interest (kepentingan umum), dan bahkan lebih dalam — moral calling.

Di tengah masyarakat yang mulai skeptis terhadap elite politik, sikap seperti ini adalah harapan. Ini memberi pesan kuat bahwa politik tidak selalu buruk. Bahwa masih ada ruang untuk ketulusan, untuk pelayanan tanpa pamrih, dan untuk keberpihakan yang murni kepada rakyat kecil.

Banggai butuh lebih banyak tokoh seperti Sulianti Murad. Tokoh yang tidak menunggu undangan resmi atau masa kampanye untuk bekerja. Tokoh yang tetap berjalan bersama masyarakat, bahkan saat sorotan publik sudah meredup. Karena seperti kata Hannah Arendt, kekuasaan yang sejati bukan berasal dari jabatan, melainkan dari kemampuan untuk bertindak bersama rakyat.

Dan dari Tombiobong, kita semua belajar: bahwa cinta kepada daerah ini, jika lahir dari hati yang jernih, akan tetap hidup — meski tanpa kursi kekuasaan.(*)