Opini  

Bukan Sekadar Angka 6, Ini Gairah Baru Pembangunan dari Pinggiran

Oleh: Parlin Yusuf

Di balik gemuruh kota dan wacana besar pembangunan nasional, desa-desa terus bergerak dalam diam. Salah satu bentuk nyata dari denyut pembangunan desa yang sering luput dari sorotan adalah Lomba Desa, ajang tahunan yang kini mulai menjelma menjadi medan unjuk diri sekaligus refleksi capaian pembangunan berbasis komunitas.


Baru-baru ini, Kabupaten Banggai menetapkan para juara Lomba Desa tahun 2025. Di antara deretan peringkat itu, terselip nama Desa Uwedikan—desa pesisir di Kecamatan Luwuk Timur—yang berhasil menduduki peringkat keenam. Barangkali, bagi sebagian orang, angka enam bukanlah pencapaian luar biasa. Tapi bagi masyarakat desa, ini adalah semacam legitimasi moral atas kerja keras kolektif, di tengah keterbatasan sumber daya dan tantangan geografis.

Lomba desa bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah cermin dari semangat membangun yang kini mulai merata, bahkan di wilayah yang dulu dianggap sebagai pinggiran. Ajang ini menghidupkan kembali apa yang sering kali mati dalam rutinitas pemerintahan desa: gairah untuk berubah dan berinovasi. Saat desa dinilai, perangkat desa dipaksa meninjau ulang administrasinya, PKK bergerak merapikan dokumentasi, karang taruna mulai menata program kerjanya, dan masyarakat terlibat menyiapkan potensi unggulan yang bisa dipresentasikan.

Prestasi Desa Uwedikan tidak lahir begitu saja. Di baliknya ada peran penting seorang pemimpin desa yang tidak menyerah oleh keterbatasan. Kepala Desa Uwedikan, Asir Labani, patut mendapat apresiasi khusus. Di tengah dinamika politik dan sosial, ia tetap menakhodai desanya dengan tekun, merangkul warganya, dan memastikan setiap elemen masyarakat ikut ambil bagian dalam proses persiapan lomba. Bukan hal mudah memobilisasi energi kolektif di desa, tapi Asir membuktikan bahwa dengan niat tulus dan kepemimpinan yang terbuka, segalanya mungkin.

Fenomena ini relevan dengan gagasan building from the margins—membangun dari pinggiran—sebuah pendekatan yang menempatkan desa bukan sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai subjek yang memiliki daya cipta dan daya gerak. Dalam kacamata sosiologi pembangunan, gairah ini bisa disebut sebagai bentuk empowerment struktural: desa yang diberi ruang untuk menunjukkan kapasitasnya akan lebih mudah berkembang ketimbang desa yang hanya bergantung pada instruksi pusat.

Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa keberhasilan lomba tidak boleh berakhir pada seremoni dan piagam penghargaan. Spirit yang dihidupkan lomba desa harus dijaga agar tidak padam setelah dewan juri pulang. Karena sesungguhnya, pembangunan desa sejati adalah maraton, bukan sprint.

Bagi Desa Uwedikan, peringkat enam adalah pijakan awal. Pintu untuk menata yang belum rapi, memperkuat yang sudah baik, dan membangun yang masih absen. Gairah itu telah tumbuh, dan kepemimpinan desa yang bekerja dengan hati menjadi kunci untuk menjaganya tetap hidup.

Jangan biarkan desa hanya bersinar ketika dinilai. Biarkan ia terus bersinar karena hidupnya semangat membangun dari rakyatnya sendiri.(*)