APBD Turun, Proyek Melesat: Siapa yang Diuntungkan di Banggai?

Supriadi Lawani

Oleh: Supriadi Lawani

APBD Kabupaten Banggai menyusut tajam: dari pagu sekitar Rp 3,23 triliun (2025) — angka yang dikutip dalam laporan keuangan daerah yang diberitakan oleh Banggaikece dan konfirmasi laporan pemda — turun menjadi sekitar Rp 2,27 triliun (2026).

Penurunan kurang lebih dari Rp  500 san miliar ( mungkin angkanya bisa berubah) namun itu bukan sekadar angka, itu adalah penguncian ruang fiskal yang seharusnya membuat semua proyek besar direview ketat.

Tapi apa yang terjadi? Bukannya menahan diri, pemerintah daerah tampak malah mempercepat dua proyek megah: pembangunan RSUD tujuh lantai dan proyek Jalan Lumpoknyo–Pasar Tua.

Ini bukan soal antipati terhadap pembangunan. Ini soal rasionalitas anggaran, akuntabilitas, dan risiko publik. Ketika ruang fiskal menyempit, keputusan mengikat belanja ratusan miliar harus dijustifikasi dengan data teknis dan kepastian hukum — bukan diklaim sebagai “kebutuhan strategis” sambil menutup akses publik ke dokumen.

Angka-angka yang Bercabang — Alarm Transparansi

Media lokal dan dokumen rapat yang beredar memperlihatkan inkonsistensi mencolok:

Rumah Sakit 7 Lantai;

Alokasi tahap awal Rp 114,8 miliar sebagaimana diberitakan oleh Banggaikece (yang juga menyebut paket gabungan RS + jalan mencapai Rp 144,8 miliar).

Estimasi lain dari dokumen/DED yang beredar — dikutip oleh Cakrawala Banggai — menunjukkan angka Rp 250–350 miliar, termasuk variasi Rp 280 miliar, Rp 300 miliar, bahkan laporan teknis yang menyebut Rp 441,5 miliar untuk total tahapan.

Jalan Lumpoknyo–Pasar Tua

Laporan media berbeda-beda: kisaran Rp 30–50 miliar (alokasi awal) muncul dalam pemberitaan Banggaikece, sementara estimasi lebih besar Rp 120–200+ miliar disampaikan dalam forum teknis dan laporan lain yang menyinggung kebutuhan talud, penanganan abrasi, dan pembebasan lahan.

Tambahan konteks dinamika proyek jalan juga muncul dalam pemberitaan Sangalu yang menyoroti banyaknya paket jalan lain yang sudah ditender—menggambarkan bagaimana angka alokasi awal sering hanya “pintu masuk” ke komitmen anggaran lebih besar.

Ada pula angka agregat yang menyebut paket awal kedua proyek: Rp 144,8 miliar (RS tahap awal + jalan tahap awal), salah satunya dalam laporan Banggaikece (paket proyek).

Singkatnya: di satu sisi ada angka alokasi tahunan yang kecil; di sisi lain ada estimasi total proyek yang jauh lebih besar — dan publik tidak diberi penjelasan koheren tentang perbedaan ini.

Itu bukan kebingungan administratif semata; itu celah besar yang memungkinkan pemaketan anggaran yang tidak transparan, pergeseran pagu tanpa audit publik, dan ruang bagi praktik-praktik yang dapat merugikan kepentingan umum.

Risiko Teknis dan Legal yang Diabaikan

1. Risiko gempa — RS 7 lantai.

Luwuk/Banggai berada di zona rawan gempa. Membangun gedung publik tinggi menuntut site-specific seismic study, desain struktural sesuai SNI gempa, dan audit independen. Sampai sekarang belum ada publikasi kajian gempa yang bisa diakses publik. Mengikat belanja multiyears (2026–2027) sebelum memastikan keamanan seismik adalah kelalaian yang berbahaya.

2. Legalitas tata ruang — Jalan Lumpoknyo–Pasar Tua. Sampai kini belum jelas apakah trase jalan itu sesuai Perda RZWP3K Provinsi Sulteng No. 10/2017. Bila trase melintasi zona konservasi atau perlindungan, proyek berisiko bertentangan dengan hukum tata ruang provinsi — dan membuka potensi konflik lingkungan serta administratif.

3. Skema multiyears saat fiskal menyusut.

Mengunci belanja dua tahun pada saat APBD menyusut mengurangi fleksibilitas anggaran berikutnya dan mewariskan beban anggaran ditahun selanjutnya.

Siapa Diuntungkan? Siapa Dirugikan? Pertanyaan yang Harus Dijawab

Polanya jelas: anggaran awal yang tampak “aman” (alokasi tahunan kecil) berpotensi berubah menjadi komitmen besar bila estimasi total dipenuhi. Siapa yang diuntungkan jika angka meleset? Kontraktor besar? Kepentingan tertentu? Sementara itu, kontraktor lokal kecil dan kebutuhan dasar masyarakat seperti irigasi, puskesmas, dan jalan desa justru kehilangan porsi anggaran.

Publik berhak tahu: apakah keputusan ini didorong oleh perencanaan kebutuhan publik atau oleh logika proyek yang menguntungkan elite tertentu?

Yang Harus Dilakukan Sekarang adalah Tindakan Pengawasan Mendesak;

1. DPRD segera minta dan umumkan dokumen lengkap: RAB, DED, kajian gempa, AMDAL/UKL-UPL, dan simulasi beban APBD 2026–2027.

2. Tunda pembayaran multiyears sampai kajian teknis dan kepatuhan zonasi dipublikasikan dan diaudit pihak ketiga independen.

3. Publikasikan perbandingan: alokasi tahunan vs estimasi total proyek agar publik dan media dapat mengecek perubahan pagu.

4. Minta audit cepat oleh BPKP atau inspektorat provinsi dan bisa juga BPK

5. Libatkan masyarakat pesisir & LSM lingkungan untuk menilai kesesuaian trase jalan dengan RZWP3K.

6. Pastikan paket pekerjaan terbagi sehingga kontraktor lokal mendapat manfaat ekonomi nyata.

Kewajiban Publik untuk Mengawasi

Ketika APBD menyusut kurang lebih dari Rp 500 miliar pilihan kebijakan yang memilih mempercepat proyek-proyek megah harus dipandang sebagai laporan penting — bukan otomatisasi kebijakan pembangunan. Jika pemerintah daerah tidak mampu menjawab transparan: berapa biaya pasti, mengapa angka berubah, siapa yang menanggung risiko, dan bagaimana mitigasi bencana dilakukan — maka DPRD, media, dan publik harus bertindak.

Banggai berhak membangun. Tetapi pembangunan yang baik diawali dari perencanaan yang jujur, pembiayaan yang bertanggung jawab, dan pengawasan yang efektif. Hingga bukti-bukti tersebut muncul, semua klaim tentang “pembangunan besar” seyogianya diperlakukan dengan skeptisisme sehat — karena di balik monumen sering tersembunyi biaya nyata: layanan publik yang terabaikan, fiskal yang terkuras, dan warga yang menanggung risikonya.

Luwuk 26/11/2025

Penulis adalah petani pisang yang kadang jadi advokat.