Opini  

10 Persen; Sah Tapi Ganjil


Oleh: Redaksi Banggai Post


Tersebutlah di sebuah rumah makan di sudut Kilo 5, Luwuk; sepiring nasi yang tampak biasa tiba-tiba menjadi luar biasa. Bukan karena lauknya langka, bukan pula karena bumbunya mengguncang lidah. Tapi karena ada angka kecil di pojok nota yang bikin dahi mengernyit: pajak 10 persen.

Sepuluh persen yang sah, tapi terasa ganjil.
Sepuluh persen yang legal, tapi menggugah gelombang tanya.
Sepuluh persen yang semestinya diam, tapi kini gaduh.

Mungkin bukan pajaknya yang salah. Mungkin kita yang belum terbiasa. Atau mungkin justru karena selama ini, sistem dibiarkan tidur terlalu lama di balik wajan, sambal, dan senyum pelayan. Kita kenyang, tapi tidak pernah benar-benar tahu—bahwa di balik harga sepiring nasi, ada urusan negara yang ikut disuapkan.

Hukum berkata jelas: pajak restoran adalah bagian dari Pajak Daerah. Undang-undangnya ada. Angkanya juga bulat—10 persen, tanpa rempah-rempah. Tapi hukum, seperti makanan, bukan hanya soal rasa sah atau tidak. Ia juga tentang cara penyajian.

Dan di sinilah letak bumbu yang terlewat: transparansi.
Jika harga di menu ditulis tanpa embel-embel, jika kasir tak pernah menjelaskan sebelum nota dicetak, jika tak ada penjelasan yang jernih sebelum sendok menyentuh mulut, maka sepuluh persen itu bisa terasa seperti jebakan, bukan kewajiban.

Lalu gaduh pun lahir.
Dari mulut yang kaget, dari komentar yang menggumpal di media sosial, dari selera yang merasa ditelikung. Padahal bisa saja tidak perlu gaduh, jika saja informasi itu hadir lebih awal—bukan di ujung, bukan setelah perut kenyang.

Tentu, negara punya hak atas pajak. Daerah butuh dana untuk membangun. Kita pun, sebagai warga, tak seharusnya alergi pada kontribusi. Tapi semua itu hanya akan berjalan mulus jika kejujuran hadir sejak suapan pertama.

Dan tentu juga, jangan hanya satu-dua warung yang “dipajaki”, sementara yang lain dibiarkan bebas melenggang tanpa nota, tanpa pungutan. Keadilan tak boleh setengah matang. Jika ingin sistem yang sehat, maka penerapannya harus merata, bukan pilih-pilih seperti menu prasmanan.

Sepuluh persen bukan sekadar angka. Ia adalah pertaruhan: antara kepercayaan dan kejutan. Antara hak negara dan hak warga untuk tahu. Maka jika ingin sistem pajak tumbuh di hati, jangan sajikan ia seperti lada yang disembunyikan di bawah nasi.

Sajikan terang. Sajikan jujur. Sajikan dengan senyuman, bukan dengan kebingungan.

Karena rakyat yang tahu mengapa mereka membayar, akan jauh lebih ikhlas dibanding mereka yang hanya tahu setelah dibayar.(*)