Tiktok Dibekukan: Ketika Joged Lebih Laris Dari Buku.

Oleh: Novita Sari Yahya


Pemerintah RI resmi membekukan izin TikTok karena diduga dipakai untuk live judol. Publik pun ribut. Bukan soal judi online, tapi soal nasib jutaan orang yang cari cuan lewat joged, gosip, dan drama di layar kecil.

TikTok sudah jadi hiburan rakyat. Mak-mak yang lelah urus rumah lari mencari hiburan di sana, entah sebagai penonton yang scroll atau kreator konten. Janjinya jelas: cuan, viral, lalu jadi selebritis.

Di tengah ekonomi yang menekan dan politik yang paradoksal, rakyat butuh hiburan. TikTok hadir sebagai panggung murah meriah. Maka wajar jika penggemarnya kian besar.

TikTok kini bak sinetron tanpa iklan. Bedanya, tak perlu wajah rupawan atau bakat seni. Cukup joged, candaan receh, atau drama ala emak-emak, langsung berpeluang jadi artis dadakan.

Lina Mukherjee, Bunda Corla, dan Popo sudah buktinya. Dari drama makan kulit babi, ribut Rp100 juta, hingga joged receh. Bahkan ada influencer Minang yang di demo gara-gara bacaruik.

BPS 2022 mencatat 39,22% masyarakat hanya tamat SD ke bawah. Maka wajar tontonan ringan lebih laris dari buku. Konten literasi? Seperti seruling kecil di tengah konser dangdut.

Saya pernah coba live TikTok untuk promosi buku. Harapannya literasi naik dan buku terjual. Hasilnya tenggelam di lautan joged dan lelucon receh.

Baru sekali mencoba, izin TikTok malah dibekukan. Rasanya seperti baru belajar berenang, kolamnya ditutup. Sementara seleb TikTok sudah cuan dan viral.

Realitas hari ini: viral lebih berharga dari isi kepala. Joged memang hiburan sesaat. Tapi buku dan pengetahuanlah yang bisa menuntun bangsa.

Jika literasi tenggelam, kita hanya jadi penonton abadi. Joged bisa bikin senyum, tapi buku memberi arah. Pertanyaannya: mau sampai kapan kita hanya menatap layar?

Novita Sari Yahya
Penulis & Peneliti
IG: @novita.kebangsaan