Opini  

Tambang Nikel Siuna; Luka Kolektif yang Dibiarkan?

Ketika air sungai sudah tercemar dan tanah tidak lagi menumbuhkan pangan, maka kita tahu: pembangunan telah kehilangan arah. Saatnya pemerintah daerah dan DPRD berdiri di barisan rakyat, bukan membiarkan mereka mati pelan-pelan demi segenggam nikel.

Oleh: Redaksi Banggai Post


“Demi pembangunan,” begitu alasan yang jamak disampaikan saat alam dipaksa tunduk pada logika investasi. Tapi di Desa Siuna, yang tersisa justru lumpur, gagal panen, dan air sungai yang tak lagi jernih.”

Dalam sepekan terakhir, sorotan terhadap aktivitas tambang nikel di Desa Siuna, Kecamatan Pagimana, menguat. Ketua Komisi II DPRD Banggai, Irwanto Kulap, secara terbuka membeberkan kerusakan ekologis dan kerugian ekonomi yang ditanggung masyarakat. Sungai tercemar, jalan provinsi rusak berat, dan sawah-sawah warga dilumpuri sedimen tambang hingga gagal panen sejak 2019.

Ironisnya, semua ini berasal dari aktivitas dua perusahaan kakak-beradik, PT Penta Dharma Karsa dan PT Prima Dharma Karsa, yang terbukti melanggar aturan pengelolaan lingkungan.

Bukan Lagi Dugaan, Ini Pelanggaran Nyata

Dalam rapat dengar pendapat bersama DLH Banggai, DPRD, dan warga terdampak, Kepala DLH Judy Amisudin menyebut kedua perusahaan belum mengurus izin pembuangan limbah ke sungai, tidak memiliki sediment pond, dan tidak membangun tempat penyimpanan limbah B3. Bahkan, tidak tersedia SDM yang mengelola IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah).

Ini bukan sekadar lalai. Ini bentuk pengabaian hukum. UU No. 32 Tahun 2009 jelas mengatur bahwa kegiatan usaha yang menimbulkan limbah wajib dikelola secara teknis dan legal. Jika tidak, maka bisa dikenai sanksi administratif, perdata, hingga pidana.

Apakah perusahaan tidak tahu? Atau justru merasa tak akan pernah disentuh hukum?

Komisi II Sudah Turun – Tapi Jangan Berhenti di Situ

Harus diapresiasi bahwa Komisi II DPRD Banggai sudah turun langsung meninjau dampak di hilir, menyaksikan langsung lumpur dan pencemaran di lahan pertanian serta pesisir. Ketua Komisi, Irwanto Kulap, menyatakan akan segera meninjau kondisi di hulu tambang, untuk memastikan ada tidaknya sediment pond dan bentuk tanggung jawab lingkungan lainnya.

Ini adalah langkah konkret. Tapi publik berharap lebih dari sekadar kunjungan. Jangan berhenti di dokumentasi. Rekomendasi DPRD harus tegas dan menyasar akar persoalan: izin dicabut jika terbukti merusak tanpa perbaikan.

Bukan Anti-Tambang, Tapi Pro-Keadilan

Kasus Siuna tidak harus dibaca sebagai penolakan terhadap tambang. Tetapi sebagai peringatan bahwa investasi yang tidak taat hukum hanya akan memperpanjang daftar kerusakan dan ketimpangan.

Masyarakat hanya meminta hak paling dasar: air yang bersih, tanah yang subur, dan jalan yang layak. Bukan janji CSR yang tidak seberapa dibandingkan nilai ore yang diangkut keluar daerah.

Jika hari ini negara gagal menjamin itu, maka siapa yang akan bertanggung jawab jika 10 tahun lagi, Desa Siuna tinggal jadi ingatan penuh lumpur?(*)