Rekomendasi DPRD Soal Siuna; Berhati-hati atau Kompromi?


Oleh: Redaksi Banggai Post

Rekomendasi DPRD Banggai hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama enam perusahaan tambang nikel di Desa Siuna, Kecamatan Pagimana, menyisakan catatan kritis. Ketika fakta pelanggaran lingkungan tersaji terbuka, termasuk pengakuan perusahaan soal izin yang belum lengkap dan temuan kerusakan kawasan mangrove seluas hampir 16 hektare, DPRD justru memilih jalur normatif yang lunak. Bagi publik, ini bukan sekadar kehilangan momentum—tapi potensi kompromi diam-diam yang merusak kepercayaan rakyat.

Ketua Iguana Tompotika, Muhammad Hidayat, dalam pernyataannya kepada media menyebutkan bahwa rekomendasi tersebut “sangat lunak, tidak menyentuh substansi pelanggaran hukum lingkungan. Kesannya ada kompromi.”

Lebih lanjut, ia menyoroti penggunaan kata “dapat” dalam rekomendasi untuk menghentikan kegiatan perusahaan yang tidak patuh, sebagai sinyal bahwa DPRD tidak benar-benar ingin mengambil sikap tegas. “Penggunaan kata ‘dapat dihentikan sementara’ juga menandakan bahwa DPRD tidak ingin mengambil sikap tegas, meski sudah ada dasar cukup kuat untuk itu. Padahal, DPRD adalah lembaga representasi rakyat yang punya otoritas moral dan politik untuk melindungi lingkungan,” katanya.

Menurutnya, rekomendasi itu seharusnya tidak berhenti pada soal administratif. “DPRD kehilangan momentum untuk memulihkan kepercayaan publik. Di saat perusahaan mengakui ada kelalaian izin lingkungan, mestinya bukan sekadar rekomendasi administratif, tapi juga desakan proses hukum,” tegasnya.

Pernyataan-pernyataan ini jelas menunjukkan bahwa masyarakat sipil—melalui lembaga seperti Iguana Tompotika—telah menyuarakan keprihatinan yang sangat serius. Tapi bagaimana dengan lembaga yang seharusnya punya taji politik dan kekuatan legislasi?

Fakta-fakta hukum yang terungkap di forum resmi sudah cukup menjadi dasar untuk mendesak penegakan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Maka dari itu, keputusan DPRD untuk hanya menyodorkan enam butir rekomendasi normatif justru menyisakan pertanyaan besar:

Apakah DPRD sedang berhati-hati, atau sedang berhitung dalam kompromi?

Siuna bukan sekadar titik di peta. Ia adalah simbol dari luka ekologis yang bisa menular jika tak segera ditangani. Dulu, Siuna dikenal sebagai negeri yang indah di punggung kepala burung—julukan untuk Banggai bagian timur. Tapi kini, hutan mangrove digusur, jalan-jalan rusak oleh truk tambang, dan air tercemar limbah ore. Siuna luka, dan sayangnya DPRD belum sepenuhnya berdiri di barisan yang benar.

Bagi kami, perlindungan lingkungan bukan perkara diskresi politik, tapi amanat konstitusional dan hak asasi generasi mendatang. Jika lembaga politik seperti DPRD tak mampu mengartikulasikan itu dengan keberanian, maka kritik dan kekecewaan rakyat adalah konsekuensi logis yang akan terus mengalir.(*)