Oleh: Novita Sari Yahya
Pemuda dan Usia: Ketika Undang-Undang Berkata, “Anda Sudah Lewat”
Barangkali kita pernah melihat seseorang dengan rambut perak memimpin rapat sambil menggelar spanduk bertuliskan Kongres Pemuda. Undang-undang mungkin menyebut pemuda berusia 16–30 tahun, tetapi di dunia nyata, usia hanyalah angka di proposal kegiatan.
Label “pemuda” kini seperti status langganan seumur hidup—tak perlu diperpanjang, cukup dipertahankan dengan surat undangan dan dokumentasi kegiatan. Mereka yang seharusnya memberi ruang bagi generasi baru justru menempatinya dengan nyaman, seolah kursi pemuda disediakan untuk yang paling senior dalam pengalaman, bukan dalam semangat.
Yang muda belajar cara menunduk sebelum berpikir; yang tua belajar cara bertahan di usia yang tak lagi muda. Dalam situasi seperti ini, semangat kepemudaan berubah menjadi nostalgia tahunan yang diulang lewat seminar dan slogan.
Semangat Rengasdengklok: Dari Aksi ke Inspirasi
Di Rengasdengklok, sekelompok pemuda pernah mengambil risiko menculik dua tokoh besar bangsa demi memastikan kemerdekaan tidak ditunda. Kini, kita lebih sering “menculik” waktu rapat untuk berfoto bersama.
Pemuda dahulu menegosiasikan kemerdekaan; pemuda kini menegosiasikan sponsorship.
Yang dulu bertindak tanpa restu, kini menunggu surat tugas.
Padahal semangat Rengasdengklok bukan tentang pemberontakan, melainkan kegelisahan untuk kemerdekaan, keberanian mengambil tanggung jawmab ketika yang tua sibuk berhitung. Jika semangat itu pernah menjadi percikan sejarah, kini ia menjadi dekorasi pidato di aula berpendingin udara.
Bapakisme dan Struktur Organisasi Pemuda
Setelah kemerdekaan, terutama pada masa Orde Baru, organisasi kepemudaan mulai menyerupai keluarga besar: ada bapak, anak, dan menantu ideologis. Semua tunduk pada garis komando, bukan pada gagasan.
Budaya bapakisme membuat pemuda lebih pandai menghafal tata cara penghormatan daripada makna perjuangan. Mereka dididik untuk loyal, bukan kritis; patuh, bukan kreatif. Di banyak organisasi, yang muda dianggap “belum cukup matang” untuk berpikir, tapi cukup penting untuk memeriahkan kegiatan.
Ruang rapat pemuda pun jadi seperti panggung drama kepemimpinan: yang tua memberi wejangan, yang muda mencatat, lalu semua berfoto di akhir acara, membuktikan bahwa kaderisasi telah berjalan dengan lancar, meski yang diwariskan hanyalah tata cara berterima kasih.
Syahrir: Pemuda yang Berpikir, Bukan Sekadar Berbaris
Sutan Syahrir pernah mengingatkan bahwa bangsa merdeka tidak bisa dibangun dengan semangat yang kaku dan pikiran yang malas. Ia takut, pemuda Indonesia tumbuh seperti pasukan barisan tanpa arah—berbaris rapi, tapi tak tahu mengapa melangkah.
Syahrir membayangkan kaderisasi sebagai ruang berpikir, bukan sekadar tempat menunggu giliran memimpin.
Latihan intelektual dan moral lebih penting daripada latihan kedisiplinan formal.
Kemandirian berpikir, bukan kepatuhan struktural, adalah inti kepemudaan.
Pemuda yang tidak diberi ruang untuk salah, takkan pernah tumbuh untuk benar.
Hatta: Pemuda yang Mandiri, Bukan Pelengkap Struktural
Bagi Mohammad Hatta, kaderisasi bukan urusan serah terima jabatan, melainkan proses menumbuhkan kesadaran. Pemuda harus punya tanggung jawab sosial, bukan sekadar jabatan organisatoris.
Ia membayangkan pemuda yang mampu berpikir bebas tapi berakar pada nilai. Pendidikan politik, pengalaman nyata, dan refleksi moral harus berjalan bersamaan tanpa salah satunya, bukan pemuda yang akan menjadi pejabat magang, tapi agen perubahan.
Belajar dari Masa Kolonial: Jejak Parindra di Jambi
Sekitar 1940, di Jambi, berdiri cabang Parindra yang dipelopori Dr. Sagaf Yahya. Meski kooperatif terhadap Belanda, mereka menanamkan pendidikan politik dari bawah melalui diskusi dan keterlibatan rakyat.
Yang menarik, mereka tidak menunggu izin pusat untuk berpikir. Semangat otonomi intelektual itu menjadikan kader daerah berani berbeda. Kini, di era yang serba bebas, ironi justru terbalik: banyak organisasi pemuda lebih sibuk menyesuaikan diri dengan birokrasi daripada menggerakkan ide.
Kaderisasi Nyata di Daerah: Antara Harapan dan Seremoni
Di berbagai daerah, termasuk Jambi, pelatihan kepemimpinan pemuda terus digiatkan. Namun sering kali hasilnya berhenti di laporan kegiatan. Kader muda hafal teori partisipasi publik, tapi bingung mempraktikkannya di masyarakat.
Mereka pandai berbicara tentang inovasi sosial, tapi jarang menulis proposal tanpa menyalin format lama.
Namun, di tengah situasi itu, muncul kelompok kecil pemuda yang mulai menolak pola lama. Mereka tidak menunggu struktur, tidak menunggu perintah. Mereka bergerak melalui komunitas, seni, atau riset sosial kecil, pelan tapi otentik. Di tangan merekalah, semangat pemuda kembali menemukan bentuknya: tidak heroik, tapi nyata.
Dari Warisan ke Kesadaran: Menculik Kembali Semangat Pemuda
Tantangan terbesar pemuda hari ini bukan penjajahan, tapi kenyamanan. Banyak yang lebih takut kehilangan posisi daripada kehilangan arah. Kritik dianggap kurang ajar, dan diam menjadi strategi bertahan hidup.
Sudah saatnya semangat Rengasdengklok “diculik” kembali bukan untuk menggulingkan siapa pun, tetapi untuk membangkitkan semangat pergerakan kemerdekaan.
Pemuda sejati bukan yang menunggu perintah, melainkan yang memulai semangat baru; bukan yang mencari panggung, melainkan yang melakukan perubahan
Menuju Kaderisasi yang Emansipatif
Kaderisasi sejati adalah ketika yang muda berani menantang dengan hormat, dan yang tua berani dikoreksi dengan lapang.
Institusi yang sehat bukan yang punya hierarki kokoh, tapi yang mampu belajar dari bawah.
Kepemimpinan sejati tidak diwariskan lewat jabatan, tapi melalui kejujuran berpikir dan keberanian memulai.
Mungkin inilah arti sesungguhnya dari “pemuda abadi”: bukan mereka yang tak menua, tapi yang tak berhenti bertanya.(*)
Referensi
Bung Hatta dan Pentingnya Kaderisasi Partai. (2020, 29 April). Berdikari Online. Diakses dari https://www.berdikarionline.com/bung-hatta-dan-pentingnya-kaderisasi-partai/
Giring Ganesha Kembali Lontarkan Pernyataan Bernada Menyerang, JJ Rizal: Pemuda Dari Bapakisme. (2022, 14 Januari). Frekuensi News. Diakses dari https://www.frekuensinews.com/nasional/pr-2892251691/
Hatta dan Bahaya Mental Fasisme. (t.t.). Merdika.id. Diakses dari https://merdika.id/sjahrir-dan-bahaya-mental-fasisme/
Kaum Muda Seharusnya adalah Sutan Sjahrir. (2020, 24 Agustus). KBA News. Diakses dari https://kbanews.com/pilihan-redaksi/kaum-muda-seharusnya-adalah-sutan-sjahrir/
Mengapa Para Pemuda Menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok? (2022, 29 April). Kompas.com. Diakses dari https://www.kompas.com/stori/read/2022/04/29/110000679/
Penerbit Buku Marjinkiri. (t.t.). Politik Jatah Preman. Diakses dari https://marjinkiri.id/product/politik-jatah-preman/
Ruang Guru. (t.t.). Sejarah Kelas 11: Mengenal Organisasi Kebangsaan Budi Utomo, Sarekat Islam, Indische Partij. Diakses dari https://www.ruangguru.com/blog/sejarah-kelas-11-mengenal-organisasi-kebangsaan-budi-utomo-sarekat-islam-indische-partij
SEJARAH KEBANGKITAN NASIONAL DAERAH JAMBI. (t.t.). Repositori Kemendikdasmen. Diakses dari https://repositori.kemendikdasmen.go.id/7432/1/SEJARAH%20KEBANGKITAN%20NASIONAL%20DAERAH%20JAMBI.pdf
Generasi Muda 1998 Durhaka Terhadap Sumpah Pemuda. (2012, 27 Oktober). Tribunnews. Diakses dari https://m.tribunnews.com/nasional/2012/10/27/
Novita sari yahya
Penulis dan peneliti












