Oleh Parlin Yusuf, Wartawan Banggai Post
Polemik penyaluran Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD) di Desa Uwedikan, Kecamatan Luwuk Timur, kembali menjadi sorotan. Bukan semata soal data penerima yang berubah, melainkan karena munculnya nama orang tua Kepala Desa dalam daftar penerima bantuan yang sejatinya ditujukan kepada masyarakat miskin, lansia, dan penyandang disabilitas.
Secara regulasi, memang tidak ada larangan eksplisit yang menyebut bahwa keluarga kepala desa, termasuk orang tuanya, tidak boleh menerima BLT-DD. Penentuan penerima dilakukan melalui musyawarah desa dan ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Namun demikian, harus diakui bahwa aturan formal bukan satu-satunya tolok ukur dalam tata kelola pemerintahan desa. Ada satu aspek penting yang sering kali terabaikan: etika publik.
Dalam konteks kepemimpinan desa, seorang kepala desa bukan hanya pejabat administratif, melainkan simbol kepercayaan masyarakat. Maka, setiap keputusan yang melibatkan kepentingan pribadi atau keluarga, meskipun sah secara prosedural, tetap harus diuji melalui prinsip etis: apakah itu pantas? Apakah itu dapat diterima oleh nalar publik?
Masuknya nama orang tua Kades ke dalam daftar penerima BLT-DD jelas menimbulkan tanda tanya, terlebih jika masih ada warga desa lain yang dinilai lebih layak namun justru dikeluarkan. Publik tentu memiliki hak untuk curiga. Dan dalam tata kelola pemerintahan yang sehat, menghindari konflik kepentingan adalah keharusan, bukan pilihan.
Seorang pemimpin sejati justru akan menempatkan keluarganya di urutan paling akhir dalam daftar penerima manfaat—bukan karena tidak berhak, tetapi sebagai bentuk pengorbanan moral agar tidak menimbulkan prasangka. Ia akan lebih memilih menjaga wibawa dan kepercayaan publik ketimbang membiarkan bantuan negara menyentuh lingkaran dalam kekuasaannya.
Tentu kita tidak serta-merta menghakimi bahwa sang orang tua tidak layak menerima. Namun yang menjadi sorotan adalah ketidakpekaan sosial dan minimnya transparansi dalam proses penetapan tersebut. Semestinya, penjelasan soal siapa yang masuk dan keluar dari daftar, terutama jika menyangkut keluarga Kades, disampaikan secara terbuka kepada masyarakat.
Dalam kasus ini, kecamatan pun telah bersikap sesuai porsinya—memediasi, mengkroscek, dan mengembalikan kepada hasil musyawarah desa. Namun, beban moral terbesar tetap ada di pundak kepala desa: apakah ia mampu menjelaskan dengan jujur, terbuka, dan penuh tanggung jawab?
Pemerintahan yang bersih dan dipercaya tidak hanya dibangun dari dokumen musyawarah atau tanda tangan berita acara. Ia dibangun dari rasa keadilan, kepedulian, dan keteladanan. Itulah yang sering kali lebih penting daripada sekadar legalitas administratif.(*)