‎Pemangkasan TKD dan Ujian Kinerja Bersih Daerah


Oleh: Nadjamuddin Mointang

‎Analis Kebijakan


Banggaipost.com.

Kebijakan pemerintah pusat memangkas Transfer ke Daerah (TKD) dalam rancangan RAPBN 2026 bukan sekadar penyesuaian fiskal, melainkan sinyal kuat bahwa era manajemen keuangan daerah yang longgar sudah berakhir. Pemerintah pusat tampaknya ingin mengirim pesan: “buktikan dulu kinerja bersih dan akuntabel, baru bicara tambahan anggaran.”

‎Selama ini, banyak daerah bergantung pada dana transfer dari pusat tanpa benar-benar menunjukkan efektivitas penggunaan anggaran. Kabupaten Banggai adalah contoh yang cukup representatif. Lebih dari 80 persen pendapatan daerahnya masih bersumber dari transfer pusat, sementara PAD-nya hanya sekitar 9–10 persen. Ketika ketergantungan begitu tinggi, sedikit saja pengurangan TKD bisa mengguncang stabilitas fiskal daerah.

‎Namun, kebijakan pemangkasan ini tidak semestinya dilihat semata sebagai ancaman. Ia justru bisa menjadi momentum koreksi dan pembelajaran fiskal. Daerah harus berani melihat ke dalam: sejauh mana belanja publik benar-benar berdampak pada masyarakat, bukan hanya terserap di laporan.

‎Kinerja Bersih, Bukan Sekadar Serapan

‎Pesan Menteri Keuangan sangat jelas: daerah harus menunjukkan “kinerja bersih”, bukan sekadar laporan penyerapan anggaran. Artinya, belanja publik harus bisa diukur dari hasilnya — apakah pelayanan dasar membaik, apakah kemiskinan menurun, apakah ekonomi lokal tumbuh.

‎Selama indikator keberhasilan masih diukur dari “berapa persen serapan” atau “berapa banyak proyek dikerjakan”, maka sistem fiskal kita tetap rapuh.

‎Daerah seperti Banggai yang masih rentan fiskal sebaiknya segera berbenah pada tata kelola dan prioritas belanja. Tak perlu menunggu pusat memberi tambahan dana; yang dibutuhkan justru adalah efisiensi, transparansi, dan fokus pada kebutuhan nyata rakyat.

Tantangan Banggai: Dari Ketergantungan Menuju Kemandirian

‎Banggai sesungguhnya punya modal besar — sumber daya kelautan, pertanian, dan potensi pariwisata. Tapi potensi tanpa tata kelola yang efisien hanya akan menjadi “aset tidur”. Ketika TKD dipangkas, daerah dipaksa berpikir kreatif: bagaimana mengoptimalkan potensi lokal menjadi sumber PAD baru.

‎Langkah-langkah kecil seperti digitalisasi pajak dan retribusi, audit iuran yang tertunggak, hingga penataan ulang belanja nonprioritas bisa menjadi titik awal. Namun dalam jangka panjang, diversifikasi PAD mutlak dilakukan. Hilirisasi hasil laut, kemitraan BUMD, atau kerja sama dengan sektor swasta lewat skema investasi publik-swasta (PPP) bisa mengurangi ketergantungan fiskal.

‎Yang paling penting, daerah perlu mengubah orientasi perencanaan dari input ke outcome. Anggaran harus menjawab pertanyaan sederhana: apa manfaat langsungnya bagi masyarakat? Jika belanja daerah tak berdampak, maka sekecil apa pun pemotongan dari pusat akan terasa berat.

‎Tantangan Politik dan Komunikasi

‎Kebijakan pemangkasan TKD tentu berisiko menimbulkan gejolak politik dan sosial. Ketika proyek tertunda atau layanan publik menurun, masyarakat akan bereaksi. Karena itu, komunikasi publik menjadi bagian dari tata kelola yang bersih.

‎Pemerintah daerah harus jujur menjelaskan bahwa efisiensi bukan berarti pengabaian layanan dasar, melainkan upaya menjaga keberlanjutan fiskal agar pembangunan tetap berjalan.

‎Dialog terbuka dengan DPRD, pelaku usaha, dan masyarakat bisa memperkuat legitimasi langkah-langkah efisiensi. Sebaliknya, menyembunyikan krisis fiskal hanya akan memperbesar ketidakpercayaan publik.

‎Momentum Reformasi Fiskal Daerah

‎Pemangkasan TKD ini adalah tamparan sekaligus peluang. Tamparan bagi daerah yang selama ini nyaman dalam ketergantungan, dan peluang bagi mereka yang siap berubah. Pemerintah pusat kini menuntut bukti nyata, bukan alasan.

‎Banggai dan daerah lain dengan struktur fiskal serupa harus memandang kebijakan ini sebagai momentum reformasi keuangan publik. Kinerja bersih bukan slogan, melainkan sikap: bekerja dengan data, transparan dalam pengambilan keputusan, dan berani dievaluasi.

‎Ujian ini memang berat, tapi di sinilah masa depan otonomi daerah sedang diuji — apakah otonomi hanya berarti mengelola anggaran, atau benar-benar mengelola hasil untuk rakyat.(*)