Oleh: Herdiyanto Yusuf
Keterangan terbaru Bupati Banggai Amirudin Tamoreka soal Participating Interest (PI) 10% Wilayah Kerja (WK) Senoro-Toili menghadirkan kabar yang menggembirakan sekaligus menyedihkan. Gembira, karena skeptisisme publik tentang PT Pembangunan Sulteng—yang sempat diduga dibentuk untuk mengambil alih PI—akhirnya terbantahkan. Dalam keterangan tertulis (27/10/2025) yang dirilis sejumlah media, Bupati menegaskan bahwa PT Pembangunan Sulteng tidak dimaksudkan menyaingi PT Banggai Energi Utama (BEU), melainkan untuk membentuk anak perusahaan bersama guna mengelola PI secara sinergis. Surat Gubernur Sulawesi Tengah (No. 500.10.7/334.Ro.Hukum, 8 Agustus 2025) juga menegaskan PT BEU sebagai penerima sah PI, dengan Adendum Perjanjian Kerja Sama (No. 100.2.1/030/PemProv.ST/2025 dan 100.3.7.1/57/PKS/Bag.Kerjasama) yang mengatur pembagian hasil 50:50 antara Pemprov Sulteng dan Pemkab Banggai. Ini semestinya meredam kekhawatiran bahwa Banggai “dikhianati” dalam pengelolaan PI, sebagaimana dulu dikhawatirkan akibat ambiguitas peran PT Pembangunan Sulteng.
Namun kabar ini sekaligus menyedihkan, sebab perubahan pembagian hasil dari 60:40 (Banggai:Provinsi) menjadi 50:50 terasa seperti langkah mundur. Jauh sebelumnya, sejak era Gubernur Rusdy Mastura (Cudi), Pemda Banggai berulang kali menegaskan adanya kesepakatan 60:40 di berbagai media kredibel. Pada Juni 2024 misalnya, Direktur Utama PT BEU Achmad Zaidy menyebut skema 60% untuk Banggai dan 40% untuk provinsi telah disepakati bersama Gubernur Rusdy. “Gubernur Sulteng bersama Bupati Banggai telah membuat kesepakatan bagi hasil perolehan PI 10 persen wilayah kerja Senoro Toili, yakni Kabupaten Banggai sebesar 60 persen dan Provinsi Sulteng sebesar 40 persen,” ujar Zaidy seperti dikutip Banggai Raya (5/6/2024). Pernyataan serupa muncul pada April 2025 dan diperkuat melalui audiensi dengan SKK Migas pada Mei 2024, di mana kedua kepala daerah kembali menyinggung pembagian yang mengutamakan daerah penghasil. Meski tanpa MoU terbuka, jejak digital ini membentuk ekspektasi kuat bahwa Banggai akan memperoleh porsi lebih besar.
Karena itu, perubahan mendadak ke 50:50 melalui Adendum Perjanjian Oktober 2025 terasa mengecewakan. Kesepakatan yang telah dirawat dan dipublikasikan berulang kali ternyata melempem—ibarat pepatah, hari ini tahu, besok sudah tempe. Mungkin terdengar emosional, tapi sebagai warga Banggai, saya tidak punya pilihan kecuali sedih mendengar keputusan yang tidak sesuai ekspektasi ini.
Skema 60:40 sejatinya solusi paling cerdas dan adil, karena memberi prioritas bagi Banggai sebagai daerah penghasil yang menanggung dampak lingkungan dan sosial operasi migas—termasuk persoalan terbaru: kerusakan irigasi, tanggul sungai, dan jalan tani di Batui akibat proyek pipa gas Senoro Selatan (likeindonesia.com 25/10/2025).
Skema ini juga selaras dengan semangat Permen ESDM No. 1 Tahun 2025 yang memberi gubernur kewenangan menentukan porsi bagi hasil tanpa harus merata. Bandingkan dengan kasus Ogan Komering Ilir (OKI), di mana Provinsi Sumsel mengambil 50% saham PI, sementara kabupaten penghasil OKU hanya 45%, hingga memicu kritik DPRD OKU karena dianggap tidak mencerminkan kontribusi lokal (sumselupdate.com, Agustus 2025).
Di Sulteng, pembagian 50:50 memang lebih seimbang dibandingkan OKI, namun pemangkasan porsi Banggai dari 60% ke 50%—tanpa penjelasan terbuka soal hasil due diligence atau studi cadangan migas—meninggalkan rasa antiklimaks. Lebih melempem lagi, soal transparansi. Meski Adendum Perjanjian disebut-sebut, dokumen ini belum pernah dipublikasikan di situs resmi Pemprov (sultengprov.go.id) maupun Pemkab Banggai. Alur penyertaan modal ke PT Pembangunan Sulteng juga belum jelas: apakah dana akan dialihkan ke anak perusahaan bersama atau tetap dikelola terpisah? Artikel Cakrawala Banggai (27/10/2025) tidak merinci hal ini, padahal APBD Sulteng 2025 senilai Rp18,46 triliun mencantumkan alokasi umum untuk BUMD tanpa rincian spesifik terkait PI. Tanpa kejelasan itu, kesepakatan 50:50 rawan dianggap sebagai “janji manis” baru—terlebih setelah janji 60:40 yang dulu digembar-gemborkan kini berubah tanpa alasan gamblang.
Menurut saya, Pemprov dan Pemkab Banggai harus menjadikan momen ini sebagai titik balik untuk membangun kepercayaan. Publikasikan Adendum Perjanjian, hasil studi cadangan migas, serta rincian penyertaan modal ke anak perusahaan bersama. Jelaskan secara terbuka mengapa porsi Banggai dipangkas dari 60% ke 50%—apakah karena tekanan fiskal, hasil due diligence, atau kompromi politik?
Tanpa langkah transparan itu, kesepakatan yang semestinya menjadi simbol kolaborasi justru terasa hambar dan meninggalkan pertanyaan baru: apakah PI ini benar-benar untuk rakyat, atau sekadar permainan elit daerah yang berganti wajah?(*)
Penulis lepas dan pekerja serabutan di Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah












