Kebocoran Pendapatan di Banggai Bisa Capai 30 Persen 

Potensi kebocoran pendapatan daerah dari sektor pajak dan retribusi di Kabupaten Banggai diperkirakan sangat besar. Karena itu Pemda diminta segera men-digitalisasi pembayaran seperti yang sudah diterapkan di sejumlah daerah.


BANGGAI POST, LUWUK Menurut Analis Kebijakan Publik, Nadjamudin Mointang, kebocoran pendapatan daerah dari sektor pajak dan retribusi di Kabupaten Banggai bisa mencapai 20-30 persen akibat sistem pembayaran yang masih manual.

“Potensi pajak dan retribusi Banggai sebenarnya tinggi, hanya saja karena masih dikelola manual, potensi kebocoran sangat besar, bahkan bisa mencapai 30-40 persen. Dan ini justru dipelihara,” tegas Nadjamudin dalam rilis yang diterima Banggai Post, Senin (8/9).

Ia menilai, digitalisasi pembayaran pajak dan retribusi menjadi solusi mendesak. Dengan sistem terhubung real-time ke Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), pemerintah bisa memantau secara harian aliran pemasukan.


Nadjamudin Mointang saat evaluasi Zona Integritas terkait digitalisasi pajak dan retribusi di kota Denpasar Bali, belum lama


Nadjamudin mencontohkan Kota Denpasar yang kini dianggap sebagai daerah dengan layanan pajak dan retribusi terbaik. Kota itu telah menerapkan sistem e-PAD yang terintegrasi dengan Bapenda, perbankan, dan QRIS. Pajak hotel, restoran, hiburan, hingga parkir berbasis online monitoring system yang langsung terhubung dengan tapping box atau aplikasi kasir.

“Transparansi tinggi karena wajib pajak membayar lewat kanal digital, baik bank, marketplace, maupun QRIS. Semua bisa dipantau secara real-time,” jelasnya.Sebaliknya, Kabupaten Banggai masih banyak mengelola pajak dan retribusi secara manual. Basis data wajib pajak (WP) dan wajib retribusi belum terintegrasi penuh, sehingga rawan data ganda dan objek pajak tidak terdata. Transaksi manual membuka ruang praktik mark-up, under-reporting, hingga pungutan tidak resmi.

Minimnya transparansi real-time membuat masyarakat maupun pimpinan daerah kesulitan mengakses data pendapatan secara cepat. Kondisi ini berimbas pada kapasitas fiskal Banggai yang masih rendah, dengan ketergantungan besar pada transfer pusat.

 

Potensi Rp 75 Miliar Hilang

Mengacu data KPK dan BPKP (2021–2023), secara nasional kebocoran PAD akibat sistem manual mencapai 20–30 persen. Jika angka itu ditarik ke Banggai dengan proyeksi PAD 2025 sebesar Rp200–250 miliar, maka Rp40–75 miliar per tahun berpotensi tidak masuk kas daerah.

“Hilangnya potensi sebesar itu membuat ruang fiskal sempit untuk membiayai program prioritas. Publik pun bisa kehilangan kepercayaan karena merasa sudah bayar, tapi tidak melihat dampaknya di pembangunan,” tambahnya.

Menanggapi pertanyaan soal biaya digitalisasi, Nadjamudin menegaskan teknologi bukan kendala. “Kan sudah ada server data pajak, tinggal dioptimalkan dengan inovasi-inovasi baru. Murah, yang mahal itu ilmu dan komitmen,” katanya.

Ia merekomendasikan sejumlah langkah strategis: implementasi e-PAD berbasis perbankan/QRIS, pemetaan objek pajak berbasis NIK dan GIS, penyediaan dashboard monitoring real-time untuk kepala daerah dan publik, kolaborasi dengan KPK-BPKP, serta edukasi dan insentif bagi wajib pajak yang taat membayar digital.

“Digitalisasi ini bukan sekadar soal teknologi, tapi tentang political will untuk menutup kebocoran dan memperkuat kapasitas fiskal daerah,” pungkasnya.(*)