Ada masa ketika Bukit Halimun hanya menjadi nama di peta—terlupakan di balik debu jalan dan mimpi yang tak sempat tumbuh.
Oleh: Herdiyanto Yusuf*
Sejak pertama kali dikembangkan pada 2011 oleh PT Walian, saya hanya sekali mengunjungi perumahan Apernas di kawasan itu. Lokasinya terasa jauh dari pusat perkantoran Kabupaten Banggai di Bukit Halimun. Jalan yang rusak, penuh lubang dan berdebu, menambah kesan terisolasi. Saat itu, kawasan ini seolah terjebak dalam stagnasi: hanya sekitar 70 unit rumah sederhana tipe 36 yang berdiri, sebagian rusak dan ditinggalkan, sisanya ditempati keluarga urban dengan status sewa, bahkan ada yang menempati gratis dengan syarat merawat rumah.
Namun, kunjungan terbaru saya bersama pengelola baru, PT Graha, mengubah pandangan itu. Jarak yang dulu terasa jauh kini terasa lebih dekat berkat infrastruktur yang membaik. Jalan berlubang dan berdebu telah berubah menjadi aspal mulus, menjadi bagian dari jalan lingkar yang menghubungkan pusat pemerintahan di Bukit Halimun hingga kilometer delapan, membelakangi Bandara Syukuran Aminuddin Amir (SAA).
Poros jalan ini dirancang sejak era Bupati Ma’mun Amir untuk menembus Kecamatan Pagimana dan membelah “leher” Sulawesi Timur. Jika tuntas, jalur ini akan memangkas puluhan kilometer perjalanan dari Luwuk menuju Pagimana hingga Palu—membuka peluang ekonomi baru yang luar biasa. Sayangnya, hingga kini, proyek ambisius itu masih tertunda.
Kilas Balik: “Ide Besar” Dahlan Iskan
Namun jauh sebelum geliat baru ini, seorang tokoh media nasional pernah melihat cahaya di bukit yang kini mulai hidup kembali.
Pada 2009, saya yang saat itu menjabat GM Luwuk Post, mengajak Dahlan Iskan—CEO Jawa Pos/JPNN—meninjau kawasan Bukit Halimun. Ia langsung terkesima. Dalam tulisannya di Jawa Pos berjudul “Ide Besar dari Bukit Halimun” (4 Agustus 2009), Dahlan menulis dengan pandangan visioner tentang Luwuk sebagai calon ibu kota Provinsi Sulawesi Timur, yang kala itu hangat diperbincangkan dalam wacana pemekaran dari Sulawesi Tengah.
Dahlan melihat Bukit Halimun sebagai embrio kota baru yang strategis. Dengan dataran tinggi yang memandang ke laut dan kedekatannya dengan pusat pemerintahan Kabupaten Banggai, ia membayangkan Luwuk sebagai kota modern yang mampu bersaing dengan pusat-pusat urban lain di Indonesia Timur.
Baginya, Bukit Halimun bukan sekadar lokasi perumahan, tetapi jantung pertumbuhan ekonomi dan administratif: kota yang terintegrasi dengan pusat bisnis, fasilitas publik, dan hunian berkualitas.
Jalan Tembus Pagimana: Tulang Punggung Konektivitas
Elemen penting dari visinya adalah pembangunan jalan tembus dari Luwuk ke Pagimana yang membelah “leher” Sulawesi Timur. Jalan ini akan memangkas jarak tempuh puluhan kilometer, menghubungkan Luwuk tak hanya ke Pagimana, tetapi juga ke Palu dan wilayah lain di Sulawesi Tengah.
Dahlan menyebutnya “ide besar” yang dapat mengubah peta ekonomi regional—mirip dampak Trans-Sulawesi. Ia membayangkan jalan ini sebagai arteri ekonomi yang mempercepat perdagangan, mobilitas penduduk, dan menjadikan Luwuk gerbang utama Sulawesi Timur.
Dengan pandangan jauh ke depan, Dahlan menyarankan agar Luwuk Post mengamankan lahan di Bukit Halimun. Ia melihat kawasan ini sebagai investasi jangka panjang yang akan melonjak nilainya jika Luwuk kelak menjadi ibu kota provinsi baru.
Lahan itu, katanya, bisa menjadi kantor redaksi, pusat bisnis, atau entitas komersial baru di bawah naungan Jawa Pos Group. “Siap-siap,” ujarnya waktu itu, “jika wilayah ini benar-benar menjadi kota baru, kalian sudah punya aset strategis.”
Sepeninggal Pak Dahlan, saya akhirnya membeli lahan di sana dan masih memilikinya hingga kini. Sebelum membeli, saya sempat berkonsultasi dengan Bupati Ma’mun Amir untuk memastikan peruntukan kawasan itu sesuai dengan RTBL (Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan) yang tengah disusun Pemerintah Daerah.
RTBL sendiri merupakan pedoman penataan kawasan agar pertumbuhan kota baru di Bukit Halimun tetap terarah, tertib, dan berkesinambungan. Sejak menyusun RTBL, Ma’mun memang lebih ketat dalam pemberian izin pembangunan. Ia ingin setiap proyek sesuai rencana tata ruang dan tidak lagi tumbuh secara acak seperti di masa lalu.
“Kita tidak mau kota baru berantakan lagi, harus ditata dari sekarang,” ujar Pak Ma’mun berulang kali waktu itu.
Transformasi Sosial dan Ekonomi
Dahlan tak hanya berbicara soal infrastruktur, tetapi juga perubahan sosial. Ia membayangkan Bukit Halimun sebagai magnet bagi kelas menengah, pebisnis, dan investor. Perumahan seperti Apernas, menurutnya, harus menjadi katalis untuk menarik penduduk urban yang mencari hunian terjangkau namun strategis.
Ia menekankan perlunya kolaborasi antara pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat untuk menciptakan ekosistem kota yang hidup—dengan sekolah, rumah sakit, dan pusat perbelanjaan sebagai penopangnya.
Pemekaran Provinsi Sulawesi Timur
Visi Dahlan sangat erat dengan wacana pemekaran Provinsi Sulawesi Timur. Ia yakin, jika pemekaran itu terwujud, Luwuk akan menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi strategis. Bukit Halimun, yang posisinya dekat dengan pusat pemerintahan kabupaten, akan menjadi inti dari perkembangan tersebut—simbol “mimpi besar” untuk menjadikan Luwuk kota mandiri yang memimpin wilayah timur.
Kebangkitan Baru Apernas Bukit Halimun
Kini, di bawah pengelolaan PT Graha, perumahan Apernas Bukit Halimun mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan yang selaras dengan visi Dahlan. Pengelola baru ini telah memulai pembangunan sejumlah unit rumah tambahan, dengan target 150 unit rampung dalam enam bulan ke depan.
Harga rumah tipe 36 yang terjangkau—sekitar Rp160 juta—sejalan dengan misi Apernas (Asosiasi Pengembang Rumah Sederhana Sehat Nasional) untuk menyediakan hunian subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kolaborasi dengan BMT Al-Muhajirin Toili juga memperkenalkan skema pembiayaan syariah, memudahkan warga memiliki rumah tanpa terbebani riba.
Dari sisi infrastruktur dasar, kawasan ini kini jauh lebih siap. Pengembang telah menyediakan sumber air bersih mandiri tanpa bergantung pada PDAM, dan gardu listrik khusus telah berfungsi penuh untuk menjamin kestabilan pasokan daya bagi seluruh penghuni. Jalan lingkar yang mulus semakin memperkuat aksesibilitas kawasan ini, menunjukkan keseriusan pemerintah daerah dan swasta dalam mendorong pengembangan Bukit Halimun.
Jika jalan tembus Pagimana—inti dari visi Dahlan—akhirnya terealisasi, Luwuk berpotensi menjadi simpul ekonomi baru yang menghubungkan Sulawesi Tengah dan Timur, membuka peluang bisnis, pariwisata, serta investasi properti yang lebih luas.
Visi Dahlan Iskan bukan sekadar angan, melainkan cetak biru yang mulai menampakkan wujud. Kebangkitan Apernas Bukit Halimun di bawah PT Graha adalah langkah awal menuju kota baru yang pernah ia bayangkan.
Bukit Halimun kini tak lagi sekadar perumahan di dataran tinggi, melainkan titik awal dari denyut baru Luwuk menuju masa depan. Mungkin Ma’mun dan Dahlan telah melihat lebih jauh dari kita: bahwa masa depan Sulawesi Timur sedang tumbuh pelan-pelan di punggung bukit yang dulu berdebu itu.(*)
*Penulis lepas dan pekerja serabutan di Luwuk-Banggai, Sulawesi Tengah