Ancaman Bupati Banggai, Ir. Amirudin Tamoreka, yang akan menyurati dua kementerian terkait kerusakan lingkungan di Desa Siuna sejatinya patut diapresiasi. Sayang seperti frasa candaan: tak semudah itu Ferguso, publik belum sepenuhnya yakin.
Oleh: Redaksi Banggai Post
Di tengah sorotan terhadap kerusakan mangrove dan dampaknya terhadap irigasi serta mata pencaharian warga, pertanyaan paling mengemuka adalah: apakah Bupati sungguh berpihak pada rakyat, atau hanya sedang memainkan dua peran demi menjaga relasi politik dan ekonomi dengan perusahaan tambang?
Keraguan ini bukan tanpa dasar. Sudah lama warga dan kelompok sipil menyuarakan protes atas ekspansi tambang nikel di Siuna yang dinilai sporadis dan membabi buta. Namun reaksi pemerintah daerah justru baru terlihat setelah dampaknya membesar dan sorotan publik kian tajam. Maka tak heran jika sebagian warga membaca langkah ini sebagai manuver untuk meredam tekanan, bukan sebagai sikap politik yang otentik, orisinil.
Apalagi sikap konkret justru belum terlihat. Sampai hari ini, aktivitas tambang tetap berjalan seperti biasa. Tak ada moratorium, tak ada surat rekomendasi penghentian sementara kepada Gubernur Sulteng. Padahal, di hadapan fakta-fakta kerusakan yang terang benderang, seorang kepala daerah mestinya tak cukup hanya mengandalkan jalur administratif.
Jika pemerintah daerah betul-betul berpihak pada kepentingan warga dan perlindungan lingkungan hidup, maka langkah logis berikutnya adalah mendorong penghentian sementara seluruh aktivitas tambang di Siuna—sambil menunggu hasil investigasi dari pusat. Tanpa langkah ini, laporan ke kementerian rawan dianggap sekadar formalitas.
Iguana Tompotika, organisasi lingkungan yang sejak awal mengawal isu ini, sudah dengan tegas menyatakan: kita tidak bisa menunggu sampai mangrove hanya tinggal dalam bentuk dokumentasi laporan semata. Pernyataan keras ini mencerminkan kekecewaan masyarakat sipil terhadap sikap setengah hati pemerintah daerah.
Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap potensi konflik kepentingan. Sejarah pertambangan di Indonesia menunjukkan bahwa terlalu sering, pemimpin daerah justru menjadi bagian dari problem itu sendiri—entah karena kepentingan politik, tekanan elite lokal, atau iming-iming proyek. Inilah mengapa penting untuk membuktikan bahwa Bupati Banggai tidak sedang bermain dua kaki
Dengan kata lain, publik tidak sedang menanti janji, tapi bukti. Dan bukti itu hanya bisa ditunjukkan lewat tindakan nyata: penghentian sementara tambang, audit lingkungan independen, serta keterlibatan masyarakat sipil dalam proses pengawasan.
Dalam situasi seperti ini, keberanian mengambil keputusan yang tidak populer di hadapan korporasi justru akan menjadi ukuran sejati seorang pemimpin. Dan waktu untuk menunjukkan keberpihakan itu adalah sekarang—sebelum semuanya terlambat.(*)
