Warga Luwuk Terkejut Dikenakan Pajak 10 Persen di Rumah Makan, Netizen: Itu Hal Biasa

TERKEJUT: Potongan video yang menunjukan seorang warga terkejut saat dikenakan pajak 10 persen di sebuah rumah makan di kawasan kilo lima, belum lama. (foto: istimewa)

BANGGAI POST, Luwuk – Sebuah video pendek memperlihatkan seorang warga yang terkejut saat menerima tagihan makan siang di sebuah rumah makan di kawasan Kilo 5, Luwuk, viral di media sosial. Pasalnya, total belanja warga tersebut dikenakan pajak 10 persen, yang menurutnya tidak biasa terjadi di tempat makan lokal.

Reaksi spontan warga itu menimbulkan perbincangan luas di media sosial. Banyak yang ikut merasa heran, namun tak sedikit pula yang menganggap pungutan pajak tersebut adalah hal yang wajar, bahkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Salah satu netizen, Lies Daud, dalam komentarnya menulis,

“Mungkin di Luwuk, baru ini warung yg minta pajak, karena di tempat lain tidak ada. Berarti saya tidak mau masuk di warung ini, pajaknya bisa bayar 1 paket nasi.”

Komentar tersebut disambut beragam reaksi. Beberapa netizen lainnya justru memberikan pandangan berbeda.

Zulmi Bimbim Alting menulis, “Beli KFC ada pajak. Beli pizza ada pajak. So sampe mana ngana bajalan?”

Sementara akun lain atas nama Angky Maabuat Lumbunaung menjelaskan bahwa pemungutan pajak seperti itu adalah bagian dari ketentuan resmi negara, terutama dalam konteks Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau pajak restoran yang termasuk dalam Pajak Daerah.

Legal dan Diatur Undang-Undang

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, disebutkan bahwa restoran, rumah makan, kafe, serta tempat hiburan merupakan objek pajak daerah yang sah. Besaran pajak restoran yang dikenakan kepada konsumen umumnya adalah 10 persen dari total nilai transaksi.

Pajak ini dipungut oleh pelaku usaha dan kemudian disetorkan ke kas daerah sebagai bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Namun dalam praktiknya, belum semua rumah makan di Luwuk dan sekitarnya menerapkan sistem tersebut secara terbuka. Hal inilah yang memicu kejutan di kalangan konsumen, terutama jika tidak ada keterangan sebelumnya bahwa harga makanan belum termasuk pajak.

Perlu Transparansi dan Edukasi

Seorang warga di lama lain berkomentar , fenomena ini menunjukkan bahwa penerapan pajak yang sah tetap membutuhkan edukasi dan transparansi.

“Kalau konsumen tidak diberi tahu sebelumnya bahwa harga belum termasuk pajak, atau tidak ada struk yang jelas, wajar mereka kaget,” ujarnya.

Pemerintah daerah diharapkan dapat lebih aktif menyosialisasikan kebijakan perpajakan di sektor jasa makanan kepada masyarakat. Di sisi lain, pelaku usaha pun diimbau untuk menyertakan informasi harga dan pajak secara terbuka agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Peristiwa ini menjadi momentum penting untuk menumbuhkan kesadaran bersama bahwa membayar pajak, termasuk pajak restoran, bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga bentuk kontribusi warga terhadap pembangunan daerah.(Tim)