Oleh: Nadjamuddin Mointang, Runner PANRB
Di pagi buta menjelang subuh, sebelum matahari benar-benar muncul dari ufuk timur, Kota Gorontalo sudah hidup lebih dulu. Jalanan yang biasanya lengang mendadak dipenuhi warna—sepatu yang mengetuk aspal, tawa gugup para peserta, dan semangat yang menghangatkan udara dingin subuh. Gorontalo Half Marathon 2025 digelar hari itu, menghadirkan 5.000 orang dari berbagai daerah, berbagai latar belakang, namun satu tujuan: berlari.
Di antara keramaian itu, tak ada yang benar-benar peduli tentang dinamika yang sebelumnya mengisi ruang publik, ketegangan kecil antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota yang tanpa disadari justru membuat event ini banyak dibicarakan. Bagi para pelari, panggung utama hari itu hanyalah jalanan, napas mereka sendiri, dan garis finish. Ternyata, di tengah riuh rendah, dinamika politik itu berubah menjadi promosi gratis yang tak pernah direncanakan..hehehe..
Ketika lomba dimulai, energi Gorontalo memancar. Warga berjejer di trotoar, mengulurkan tangan, memberi semangat, memberi senyum. Anak-anak meneriakkan “semangat ti kakak!” sementara para lansia yang habis melaksankan ibadah sholat subuh berdiri sepanjang trotoar, ikut menyaksikan ribuan langkah yang bergerak bersama.
Namun di balik keindahan itu, ada pemandangan yang menyentak mata: tumpukan gelas plastik di sekitar water station. Para pelari yang butuh cepat melepas dahaga, tak menemukan cukup tempat sampah. Gelas-gelas itu jatuh begitu saja, membentuk jejak yang tidak diinginkan. Petugas kebersihan kewalahan, dan momen yang seharusnya menjadi pemandangan rapi justru berubah menjadi pengingat bahwa sebuah event besar selalu menyisakan pekerjaan rumah.
Meski begitu, manusia-manusia di baliknya tetap bergerak. Relawan muda memunguti satu per satu gelas sambil tersenyum, warga sekitar ikut membantu tanpa diminta—seakan setiap tangan ingin memastikan kota mereka tetap cantik. Ada kehangatan yang terasa lebih kuat dari sampah yang berserakan.
Dan di antara ribuan cerita itu, satu nama mencuri perhatian: seorang pelari perempuan dari Kabupaten Banggai, yang tampil luar biasa di kategori 5K. Dengan langkah ringan tapi penuh tekad, ia menyalip peserta satu per satu. Di garis finish, air matanya jatuh—bukan karena lelah, tetapi karena bangga. Ia tidak hanya mewakili dirinya, tetapi seluruh daerahnya. Ceritanya menjadi inspirasi bagi anak-anak yang menontonnya, membuktikan bahwa perjuangan panjang bisa menemukan ujung yang indah.
Saat matahari akhirnya naik tinggi, menutup rangkaian lomba, banyak yang sadar bahwa Gorontalo Half Marathon 2025 bukan sekadar soal siapa yang tercepat. Ini tentang manusia—tentang mereka yang datang dari jauh, tentang relawan yang bekerja dalam senyap, tentang warga yang ikut meramaikan, tentang atlet muda dari Banggai yang berlari dengan hati.
Dan tentu saja, tentang sebuah kota yang belajar dari setiap langkah, setiap kekurangan, setiap keberhasilan.
Gorontalo Half Marathon 2025 telah selesai, tapi ceritanya masih terus berlari dalam ingatan banyak orang.












